KABARBURSA.COM - Meningkatnya laporan kasus suspek monkeypox di beberapa kota besar Indonesia belum dianggap sebagai faktor yang akan memicu euforia di sektor emiten alat kesehatan dan farmasi.
Analis pasar modal yang juga Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama, mengatakan kasus cacar monyet ini tidak serta-merta berdampak signifikan terhadap kinerja emiten alat kesehatan seperti yang terjadi pada saat pandemi Covid-19.
“Ini kan bukan krisis Covid-19 ya, berarti memang tidak terlalu euforia kalau menurut saya untuk sektor health care,” kata Nafan saat dikonfirmasi Kabar Bursa, Minggu, 8 September 2024.
Nafan menegaskan perbedaan antara dua situasi kesehatan global tersebut. Menurut dia, Monkeypox tidak akan memberikan euforia besar bagi emiten kesehatan karena statusnya yang belum dikategorikan sebagai endemi maupun pandemi. Ini berbeda dengan Covid-19 di mana penyebaran kasus suspeknya jauh lebih masif bahkan menelan banyak pasien. “Monkeypox belum ditetapkan sebagai endemi, apalagi pandemi,” katanya.
Nafan menambahkan, saat ini sektor kesehatan berada dalam kategori melemah berdasarkan indikator-indikator pasar. Namun, menurutnya sektor kesehatan masih belum bisa dipastikan akan terdongkrak oleh perkembangan kasus monkeypox ini.
Kementerian Kesehatan sebelumnya mengungkap adanya peningkatan laporan suspek kasus monkeypox atau cacar monyet di beberapa wilayah Indonesia. Sejumlah kota besar yang menjadi pintu masuk internasional, seperti Jakarta, Palembang, Yogyakarta, Bandung, dan Makassar, sudah melaporkan adanya kasus suspek monkeypox.
Siti Nadia Tarmizi, Plt. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, mengonfirmasi hingga Selasa, 3 September 2024, terdapat 88 pasien yang teridentifikasi sebagai suspek monkeypox. Meskipun belum ada penambahan kasus yang dikonfirmasi, Kementerian Kesehatan masih memeriksa tujuh sampel yang berasal dari beberapa wilayah, termasuk dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo, mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. Ia meminta agar orang tua lebih memperhatikan kesehatan anak-anak, mengingat mereka lebih rentan terkena penyakit tersebut. “Anak-anak berisiko lebih tinggi terkena penyakit cacar monyet dalam kondisi parah dibandingkan orang dewasa,” katanya, mengutip data dari WHO.
Meski Nafan menilai dampak monkeypox belum signifikan terhadap sektor alat kesehatan, tiga emiten di sektor ini tetap membukukan kinerja yang solid di tengah tantangan kesehatan global. Emiten-emiten tersebut adalah PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA), dan PT Jayamas Medica Industri Tbk (OMED).
Kalbe Farma (KLBF), yang sudah lama dikenal sebagai salah satu pemain utama di industri farmasi Indonesia, mencatatkan peningkatan pendapatan di awal tahun 2024. Pada kuartal pertama, KLBF membukukan pendapatan sebesar Rp958 miliar, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, laba bersihnya juga terus tumbuh, didukung oleh penjualan produk kesehatan dan obat-obatan yang meningkat seiring dengan kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, Itama Ranoraya (IRRA), yang dikenal sebagai distributor alat kesehatan, juga terus memperkuat posisinya di industri ini. Pada kuartal pertama tahun 2024, IRRA mencatatkan pendapatan sebesar Rp4 miliar, meskipun sedikit menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Namun, perusahaan tetap berperan penting dalam distribusi alat diagnostik, termasuk di tengah potensi lonjakan permintaan terkait monkeypox.
PT Jayamas Medica Industri Tbk (OMED), sebagai salah satu produsen alat kesehatan, juga mencatatkan peningkatan kinerja. Pada kuartal pertama 2024, perusahaan ini mencatatkan pendapatan sebesar Rp63 miliar, meningkat dari Rp56 miliar pada kuartal yang sama tahun sebelumnya. OMED memiliki peran penting dalam penyediaan produk-produk kesehatan, termasuk alat pelindung diri dan peralatan medis lainnya yang masih dibutuhkan hingga saat ini.
Nafan mengatakan sejauh ini PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) tidak diberi penilaian khusus oleh analis, mengingat sahamnya dianggap kurang likuid di pasar. Namun, Nafan menilai PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) memiliki likuiditas yang baik di pasar sehingga sahamnya lebih mudah diperjualbelikan oleh investor. “KLBF likuid,” katanya.
Selama sepekan terakhir, harga saham KLBF menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pada penutupan terbaru, harga saham KLBF berada di level Rp1.710, naik sebesar 60 poin atau 3,64 persen dibandingkan minggu sebelumnya. Selama seminggu terakhir, saham KLBF sempat menyentuh level tertinggi di Rp1.775 sebelum mengalami sedikit koreksi.
Pergerakan ini menandakan adanya minat investor yang cukup kuat terhadap saham KLBF, didukung oleh likuiditas yang baik di pasar. Saham ini juga masuk dalam sektor Farmasi dan Riset Kesehatan serta termasuk dalam kategori Syariah, yang membuatnya menarik bagi berbagai kalangan investor. Meski terjadi fluktuasi dalam minggu ini, tren kenaikan harga saham KLBF tetap terlihat stabil.(*)