KABARBURSA.COM - Kementerian Perdagangan Malaysia tengah meninjau undang-undang antidumpingnya dan berencana mengajukan revisi ke parlemen tahun depan. Langkah ini mengikuti jejak Indonesia dalam menghadapi serbuan produk-produk murah asal China yang merugikan bisnis lokal.
Pemerintah Malaysia bertekad melindungi usaha kecil dan menengah dari dampak perdagangan tidak adil akibat arus masuk besar-besaran barang impor murah, terutama dari China. Wakil Menteri Perdagangan, Liew Chin Tong, menyatakan hal ini di parlemen pada Rabu 24 Juli 2024.
Sejak 2015 hingga 2023, Kementerian memberlakukan sembilan tindakan antidumping terhadap eksportir China guna melindungi industri lokal. Liew menyampaikan hal ini saat menjawab pertanyaan dari senator Low Kian Chuan, yang mengetuai Asosiasi Kamar Dagang dan Industri China Malaysia.
Langkah ini sejalan dengan tindakan yang diambil oleh Kementerian Perdagangan Indonesia, yang tengah mempertimbangkan jenis barang yang lebih luas untuk mengatur lonjakan impor, termasuk dari China, yang mengancam industri lokal.
Kementerian Perdagangan Malaysia juga terbuka untuk bekerja sama dengan asosiasi tersebut guna mempelajari dampak produk China terhadap bisnis lokal, tambah Liew.
Namun, dia menegaskan bahwa pemerintah tidak menargetkan negara tertentu. Hal ini menunjukkan penyeimbangan rumit yang harus dilakukan Malaysia dalam menarik perdagangan sambil memastikan produsen dalam negeri tetap kompetitif.
Beijing adalah mitra dagang terbesar Kuala Lumpur. “Kerja sama antara China dan Malaysia dapat menguntungkan pengusaha lokal melalui rantai pasokan dan peluang bisnis,” kata Liew.
Perdagangan antara kedua negara meningkat 5,9 persen menjadi 151 miliar ringgit (USD29,8 miliar) antara Januari hingga April tahun ini, dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023, tambahnya.
Kebijakan anti-dumping merupakan instrumen perdagangan yang digunakan oleh negara-negara untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik perdagangan yang tidak adil, salah satunya adalah dumping. Dumping adalah praktik menjual barang di pasar negara lain dengan harga lebih rendah dibandingkan harga di pasar domestik atau dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksinya.
Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat akibat dumping. Dengan melindungi industri dalam negeri, diharapkan dapat mencegah terjadinya PHK massal. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara melalui penerimaan bea masuk anti-dumping.
Impor Malaysia menunjukkan tren yang dinamis selama beberapa tahun terakhir, mencerminkan kompleksitas ekonomi global dan hubungan dagang negara tersebut. Pada 2023, Malaysia mencatat peningkatan impor yang signifikan dari berbagai negara, dengan China sebagai salah satu pemasok terbesar.
Produk elektronik dan komponen teknologi menjadi kontributor utama dalam volume impor, sejalan dengan permintaan domestik yang tinggi untuk barang-barang teknologi tinggi. Selain itu, sektor energi juga memainkan peran penting, dengan impor minyak dan gas alam mengalami kenaikan yang stabil.
Namun, banjir produk murah, terutama dari China, menimbulkan tantangan tersendiri bagi industri lokal. Banyak usaha kecil dan menengah merasa tertekan oleh persaingan harga yang tidak seimbang, yang memicu pemerintah Malaysia untuk meninjau kembali kebijakan antidumping.
Pada paruh pertama 2024, Kementerian Perdagangan Malaysia mencatat pertumbuhan impor sebesar 5,9 persen, mencapai nilai 151 miliar ringgit (USD29,8 miliar). Peningkatan ini sebagian besar didorong oleh barang-barang konsumsi dan bahan baku industri.
Upaya untuk memperketat regulasi antidumping menjadi fokus utama pemerintah, bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara melindungi industri lokal dan menjaga hubungan dagang internasional. Langkah ini mencerminkan kebijakan yang lebih proaktif dalam menangani tantangan globalisasi dan persaingan pasar yang semakin ketat.
Dengan reformasi kebijakan dan pengawasan ketat, Malaysia berharap dapat menjaga daya saing industri dalam negeri sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.
Meski sebenarnya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memiliki peran sentral dalam mengatur penggunaan kebijakan anti-dumping di seluruh dunia. WTO berusaha menyeimbangkan antara hak negara untuk melindungi industrinya dari praktik perdagangan yang tidak adil, dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas dan non-diskriminasi.
Perjanjian Anti-Dumping WTO telah memberikan kerangka kerja yang jelas, namun masih terdapat beberapa tantangan misalnya, batasan antara praktik bisnis yang agresif dan praktik dumping yang melanggar aturan WTO seringkali sulit ditentukan.
Interaksi antara kebijakan anti-dumping dan kebijakan subsidi seringkali menjadi isu yang kompleks. Beberapa negara masih menggunakan kebijakan anti-dumping sebagai alat proteksionisme untuk melindungi industri dalam negeri.
Perkembangan teknologi seperti e-commerce dan rantai pasok global yang kompleks menghadirkan tantangan baru dalam penerapan kebijakan anti-dumping. (*)