KABARBURSA.COM - Infografis kali ini akan meneropong pertumbuhan ekonomi Indonesia dan dinamikanya pada 2 rezim pemerintahan terakhir.
Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeklaim, ekonomi dan demokrasi pada era kepemimpinannya dapat tumbuh secara selaras.
Menurutnya, hal tersebut telah mematahkan mitos bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai dengan mengorbankan demokrasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi di era pemerintahan SBY sejak 2004-2014 memang selalu tumbuh positif.
Pertumbuhan ekonomi domestik pun sempat mencapai 6,5{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da} pada 2011. Melihat trennya, selama masa pemerintahan SBY tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mencatatkan angka terbesarnya pada 2011. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi di tanah air dapat tumbuh mencapai 6,5{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da} pada kala itu.
Berbeda dengan SBY, pertumbuhan ekonomi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) cenderung stagnan di level 5{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da} sejak 2015 hingga 2019. Ekonomi Indonesia pun sempat terkontraksi 2,07{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da} ketika pandemi Covid-19 melanda pada 2020. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai pulih ke level 3,69{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da} pada 2021. Pertumbuhan ekonomi domestik pun berlanjut menjadi sebesar 5,31{ebdbbc6e6776edee5015c7a1b8b6f85fb1398462916d4269298bb0b7121d79da} pada tahun lalu.
Dalam catatan BBC, selama dua periode memimpin Indonesia, para ekonom sepakat bahwa Presiden Joko Widodo berhasil memperbanyak infrastruktur dan gencar menggaet investasi. Namun warisan Jokowi di bidang pembangunan itu harus dibayar mahal dengan kemunduran demokrasi, kata pakar politik dan pegiat HAM.
Pada tahun terakhirnya menjabat sebagai presiden, Jokowi mendapat "peringatan keras" dari para akademisi, mahasiswa, hingga ekonom lantaran dituding mengintervensi konstitusi dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai presiden demi memuluskan langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dalam Pemilu 2024.
Selain fokus pada infrastruktur, Jokowi juga begitu mendorong investasi. Salah satunya dilakukan dengan pengesahan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Bagi pemerintah, UU Cipta Kerja penting untuk menggaet investasi demi menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Sebab, Indonesia akan menghadapi bonus demografi yang puncaknya akan dicapai pada 2030, di mana mayoritas penduduknya adalah kelompok produktif.
Jokowi sendiri memiliki target untuk mencapai “Indonesia Emas” pada 2045. Akan tetapi, UU Cipta Kerja justru ditentang luas.
Eko Listyanto dari Indef menilai UU tersebut lebih patut disebut sebagai “Undang-Undang Investasi” dibanding “Cipta Kerja” karena “menekan kesejahteraan buruh”.
Sejak UU Cipta Kerja itu disahkan pada 2020 – meski sempat dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi – target investasi di era Jokowi memang terus meningkat hingga hampir dua kali lipat.
Kontributor utama peningkatan investasi asing berasal dari sektor hilirisasi nikel yang didominasi oleh investor China. Ini juga merupakan salah satu kebijakan yang menonjol di era Jokowi, yang melarang nikel mentah diekspor. Kebijakan ini pun sempat digugat oleh Uni Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Alhasil, penanaman modal untuk pembangunan smelter nikel pun meningkat. Sebuah dokumen ringkas dari Indef menunjukkan bahwa kebijakan ini memang memberi nilai tambah ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Namun di sisi lain, gencarnya eksploitasi nikel turut mempercepat laju deforestasi. Lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat lebih dari 200.000 hektare lahan di Sulawesi Tengah telah menjadi lahan konsesi untuk pertambangan nikel.
Kajian terbaru dari Climate Rights International (CRI) menemukan bahwa hilirisasi industri nikel di Halmahera, Maluku Utara menyebabkan 5.331 hektare deforestasi hutan tropis. Selain itu, sumber air bersih, irigasi, serta laut tempat masyarakat mencari ikan menjadi tercemar oleh limbah. Menanggapi dampak lingkungan dan sosial yang timbul, Eko dari Indef mengatakan, “Peningkatan [nilai tambah] itu tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.”
Pola investasi semacam ini, menurut dia, merupakan buah dari Undang-Undang Cipta Kerja yang diwariskan oleh Jokowi. UU itu tidak lagi mewajibkan analisis dampak lingkungan (Amdal), sehingga aspek keberlanjutan menjadi salah satu hal yang kian terabaikan.
Hal lain yang juga menjadi catatan Indef, masifnya investasi itu nyatanya juga belum cukup mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai target Jokowi.
“Investasi memang naik, tapi kan yang tidak terlalu memedulikan efek keberlanjutan. Aspek-aspek yang tadinya bisa diseleksi, malah dilonggarkan,” kata Eko. “Secara nilai, investasi memang naik tetapi kerugiannya ada pada lingkungan, tipe investasinya yang padat modal, dan tidak ramah bagi buruh. Akhirnya investasi bertambah, tapi pertumbuhan ekonomi stuck,” sambungnya.
Sementara itu, ekonom dari Universitas Padjadjaran Arief Anshory menilai gencarnya pembangunan smelter belum berdampak bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
“Bahwa hilirisasi meningkatkan nilai tambah itu betul, tapi apakah menaikkan kesejahteraan? Tidak, karena pembangunan smelter itu padat modal, bukan padat karya,” kata Arief.